Hal-Hal yang Dianjurkan Ketika Terjadi Gerhana
Pertama: perbanyaklah dzikir, istighfar, takbir, sedekah dan
bentuk ketaatan lainnya.
Dari ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha, Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam bersabda,
إِنَّ الشَّمْسَ وَالْقَمَرَ آيَتَانِ مِنْ آيَاتِ اللَّهِ
، لاَ يَنْخَسِفَانِ
لِمَوْتِ أَحَدٍ وَلاَ لِحَيَاتِهِ
، فَإِذَا رَأَيْتُمْ
ذَلِكَ فَادْعُوا اللَّهَ وَكَبِّرُوا ،
وَصَلُّوا وَتَصَدَّقُوا
”Sesungguhnya matahari dan bulan
adalah dua tanda di antara tanda-tanda kekuasaan Allah. Gerhana ini tidak
terjadi karena kematian seseorang atau lahirnya seseorang. Jika melihat hal
tersebut maka berdo’alah kepada Allah, bertakbirlah, kerjakanlah shalat dan
bersedekahlah.” (HR. Bukhari no. 1044)
Kedua: keluar mengerjakan shalat gerhana secara berjama’ah
di masjid.
Salah satu dalil yang menunjukkan hal ini sebagaimana dalam
hadits dari ’Aisyah bahwasanya Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam mengendari
kendaraan di pagi hari lalu terjadilah gerhana. Lalu Nabi shallallahu ’alaihi
wa sallam melewati kamar istrinya (yang dekat dengan masjid), lalu beliau
berdiri dan menunaikan shalat. (HR. Bukhari no. 1050). Dalam riwayat lain
dikatakan bahwa Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam mendatangi tempat shalatnya
(yaitu masjidnya) yang biasa dia shalat di situ. (Lihat Shohih Fiqh Sunnah,
1/343)
Ibnu Hajar mengatakan, ”Yang sesuai dengan ajaran Nabi
shallallahu ’alaihi wa sallam adalah mengerjakan shalat gerhana di masjid.
Seandainya tidak demikian, tentu shalat tersebut lebih tepat dilaksanakan di
tanah lapang agar nanti lebih mudah melihat berakhirnya gerhana.” (Fathul Bari,
4/10)
Lalu apakah mengerjakan dengan jama’ah merupakan syarat
shalat gerhana? Perhatikan penjelasan menarik berikut.
Syaikh Muhammad bin Sholeh Al Utsaimin mengatakan, ”Shalat
gerhana secara jama’ah bukanlah syarat. Jika seseorang berada di rumah, dia
juga boleh melaksanakan shalat gerhana di rumah. Dalil dari hal ini adalah
sabda Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam,
فَإِذَا
رَأَيْتُمْ فَصَلُّوا
”Jika kalian melihat gerhana
tersebut, maka shalatlah.” (HR. Bukhari no. 1043)
Dalam hadits ini, beliau shallallahu ’alaihi wa sallam tidak
mengatakan, ”(Jika kalian melihatnya), shalatlah kalian di masjid.” Oleh karena
itu, hal ini menunjukkan bahwa shalat gerhana diperintahkan untuk dikerjakan
walaupun seseorang melakukan shalat tersebut sendirian. Namun, tidak diragukan
lagi bahwa menunaikan shalat tersebut secara berjama’ah tentu saja lebih utama
(afdhol).
Bahkan lebih utama jika shalat tersebut dilaksanakan di masjid karena Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam mengerjakan shalat tersebut di masjid dan mengajak para sahabat untuk melaksanakannya di masjid. Ingatlah, dengan banyaknya jama’ah akan lebih menambah kekhusu’an. Dan banyaknya jama’ah juga adalah sebab terijabahnya (terkabulnya) do’a.” (Syarhul Mumthi’, 2/430)
Bahkan lebih utama jika shalat tersebut dilaksanakan di masjid karena Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam mengerjakan shalat tersebut di masjid dan mengajak para sahabat untuk melaksanakannya di masjid. Ingatlah, dengan banyaknya jama’ah akan lebih menambah kekhusu’an. Dan banyaknya jama’ah juga adalah sebab terijabahnya (terkabulnya) do’a.” (Syarhul Mumthi’, 2/430)
Ketiga: wanita juga boleh shalat gerhana bersama kaum pria.
Dari Asma` binti Abi Bakr, beliau berkata,
أَتَيْتُ
عَائِشَةَ – رضى الله عنها
– زَوْجَ النَّبِىِّ – صلى الله عليه
وسلم – حِينَ خَسَفَتِ الشَّمْسُ
، فَإِذَا النَّاسُ
قِيَامٌ يُصَلُّونَ ، وَإِذَا هِىَ
قَائِمَةٌ تُصَلِّى فَقُلْتُ مَا لِلنَّاسِ فَأَشَارَتْ
بِيَدِهَا إِلَى السَّمَاءِ ،
وَقَالَتْ سُبْحَانَ اللَّهِ . فَقُلْتُ آيَةٌ فَأَشَارَتْ أَىْ
نَعَمْ
“Saya mendatangi Aisyah radhiyallahu
‘anha -isteri Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam- ketika terjadi gerhana
matahari. Saat itu manusia tengah menegakkan shalat. Ketika Aisyah turut
berdiri untuk melakukan sholat, saya bertanya: ‘Kenapa orang-orang ini?’ Aisyah
mengisyaratkan tangannya ke langit seraya berkata, ‘Subhanallah (Maha Suci
Allah).’ Saya bertanya: ‘Tanda (gerhana)?’ Aisyah lalu memberikan isyarat untuk
mengatakan iya.” (HR. Bukhari no. 1053)
Bukhari membawakan hadits ini pada bab:
صَلاَةِ
النِّسَاءِ مَعَ الرِّجَالِ فِى
الْكُسُوفِ
”Shalat wanita bersama kaum pria
ketika terjadi gerhana matahari.”
Ibnu Hajar mengatakan,
أَشَارَ
بِهَذِهِ التَّرْجَمَة إِلَى رَدّ قَوْل
مَنْ مَنَعَ ذَلِكَ وَقَالَ
: يُصَلِّينَ فُرَادَى
”Judul bab ini adalah sebagai
sanggahan untuk orang-orang yang melarang wanita tidak boleh shalat gerhana
bersama kaum pria, mereka hanya diperbolehkan shalat sendiri.” (Fathul Bari,
4/6)
Kesimpulannya, wanita boleh ikut serta melakukan shalat
gerhana bersama kaum pria di masjid. Namun, jika ditakutkan keluarnya wanita
tersebut akan membawa fitnah (menggoda kaum pria), maka sebaiknya mereka shalat
sendiri di rumah. (Lihat Shohih Fiqh Sunnah, 1/345)
Keempat: menyeru jama’ah dengan panggilan “ash sholatu jaami’ah”
dan tidak ada adzan maupun iqomah.
Dari ’Aisyah radhiyallahu ’anha, beliau mengatakan,
أنَّ الشَّمس خَسَفَتْ عَلَى
عَهْدِ رَسولِ اللهِ صلى
الله عليه وسلم، فَبَعَثَ
مُنَادياً يُنَادِي: الصلاَةَ جَامِعَة، فَاجتَمَعُوا. وَتَقَدَّمَ فَكَبرَّ وَصلَّى أربَعَ رَكَعَاتٍ
في ركعَتَين وَأربعَ سَجَدَاتٍ.
“Aisyah radhiyallahu ‘anha
menuturkan bahwa pada zaman Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah terjadi
gerhana matahari. Beliau lalu mengutus seseorang untuk memanggil jama’ah
dengan: ‘ASH SHALATU JAMI’AH’ (mari kita lakukan shalat berjama’ah). Orang-orang
lantas berkumpul. Nabi lalu maju dan bertakbir. Beliau melakukan empat kali
ruku’ dan empat kali sujud dalam dua raka’at.” (HR. Muslim no. 901). Dalam
hadits ini tidak diperintahkan untuk mengumandangkan adzan dan iqomah. Jadi,
adzan dan iqomah tidak ada dalam shalat gerhana.
Kelima: berkhutbah setelah shalat gerhana.
Disunnahkah setelah shalat gerhana untuk berkhutbah,
sebagaimana yang dipilih oleh Imam Asy Syafi’i, Ishaq, dan banyak sahabat
(Lihat Shohih Fiqh Sunnah, 1/435). Hal ini berdasarkan hadits:
عَنْ عَائِشةَ رَضي الله عَنْهَا
قَالَتْ: خَسَفَتِ الشمسُ عَلَى عَهدِ
رَسُول الله صلى الله
عليه وسلم. فَقَامَ فَصَلَّى
رَسُولُ الله صلى الله
عليه وسلم بالنَّاس فَأطَالَ
القِيَام، ثُمَّ رَكَعَ فَأطَالَ
الرُّكُوعَ، ثُمَّ قَامَ فَأطَالَ
القيَامَ وَهو دُونَ القِيَام
الأوَّلِ، ثم رَكَعَ فَأطَالَ
الرُّكوعَ وهُوَ دُونَ الرُّكُوعِ
الأوَّلِ، ثُم سَجَدَ فَأطَالَ
السُّجُودَ، ثم فَعَلَ في
الركعَةِ الأخْرَى مِثْل مَا فَعَل
في الركْعَةِ الأولى، ثُمَّ انصرَفَ
وَقَدْ انجَلتِ الشَّمْسُ، فَخَطبَ
الناسَ فَحَمِدَ الله وأثنَى عَليهِ
ثم قالَ:
” إن
الشَّمس و القَمَر آيتانِ
مِنْ آيَاتِ الله لاَ
تنْخَسِفَانِ لِمَوتِ أحد. وَلاَ
لِحَيَاتِهِ. فَإذَا رَأيتمْ ذلك
فَادعُوا الله وَكبروا وَصَلُّوا
وَتَصَدَّ قوا”.
ثم قال: ” يَا أمةَ
مُحمَّد ” : والله مَا مِنْ
أحَد أغَْيَرُ مِنَ الله سُبْحَانَهُ
من أن يَزْنَي عَبْدُهُ
أوْ تَزني أمَتُهُ. يَا
أمةَ مُحَمد، وَالله لو
تَعْلمُونَ مَا أعلم لضَحكْتُمْ
قَليلاً وَلَبَكَيتم كثِيراً “.
Dari Aisyah, beliau menuturkan bahwa gerhana matahari pernah
terjadi pada masa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Lantas beliau
shallallahu ‘alaihi wa sallam bangkit dan mengimami manusia dan beliau
memanjangkan berdiri. Kemuadian beliau ruku’ dan memperpanjang ruku’nya.
Kemudian beliau berdiri lagi dan memperpanjang berdiri tersebut namun lebih
singkat dari berdiri yang sebelumnya. Kemudian beliau ruku’ kembali dan
memperpanjang ruku’ tersebut namun lebih singkat dari ruku’ yang sebelumnya.
Kemudian beliau sujud dan memperpanjang sujud tersebut. Pada raka’at
berikutnya, beliau mengerjakannya seperti raka’at pertama. Lantas beliau
beranjak (usai mengerjakan shalat tadi), sedangkan matahari telah nampak.
Setelah itu beliau berkhotbah di hadapan orang banyak, beliau memuji dan
menyanjung Allah, kemudian bersabda, ”Sesungguhnya matahari dan bulan adalah
dua tanda di antara tanda-tanda kekuasaan Allah. Gerhana ini tidak terjadi
karena kematian seseorang atau lahirnya seseorang. Jika melihat hal tersebut
maka berdo’alah kepada Allah, bertakbirlah, kerjakanlah shalat dan
bersedekahlah.”
Nabi selanjutnya bersabda, ”Wahai umat Muhammad, demi Allah,
tidak ada seorang pun yang lebih cemburu daripada Allah karena ada seorang
hamba baik laki-laki maupun perempuan yang berzina. Wahai Umat Muhammad, demi
Allah, jika kalian mengetahui yang aku ketahui, niscaya kalian akan sedikit
tertawa dan banyak menangis.” (HR. Bukhari, no. 1044)
Khutbah yang dilakukan adalah sekali sebagaimana shalat
’ied, bukan dua kali khutbah. Inilah pendapat yang benar sebagaimana dipilih
oleh Imam Asy Syafi’i. (Lihat Syarhul Mumthi’, 2/433)
Tata Cara Shalat Gerhana
Shalat gerhana dilakukan sebanyak dua raka’at dan ini
berdasarkan kesepakatan para ulama. Namun, para ulama berbeda pendapat mengenai
tata caranya.
Ada yang mengatakan bahwa shalat gerhana dilakukan
sebagaimana shalat sunnah biasa, dengan dua raka’at dan setiap raka’at ada
sekali ruku’, dua kali sujud. Ada juga yang berpendapat bahwa shalat gerhana
dilakukan dengan dua raka’at dan setiap raka’at ada dua kali ruku’, dua kali
sujud. Pendapat yang terakhir inilah yang lebih kuat sebagaimana yang dipilih
oleh mayoritas ulama. (Lihat Shohih Fiqh Sunnah, 1/435-437)
Hal ini berdasarkan hadits-hadits tegas yang telah kami
sebutkan:
“Aisyah radhiyallahu ‘anha
menuturkan bahwa pada zaman Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah terjadi
gerhana matahari. Beliau lalu mengutus seseorang untuk menyeru ‘ASH SHALATU
JAMI’AH’ (mari kita lakukan shalat berjama’ah). Orang-orang lantas berkumpul.
Nabi lalu maju dan bertakbir. Beliau melakukan empat kali ruku’ dan empat kali
sujud dalam dua raka’at.” (HR. Muslim no. 901)
“Aisyah menuturkan bahwa gerhana
matahari pernah terjadi pada masa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Lantas beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam bangkit dan mengimami manusia dan
beliau memanjangkan berdiri. Kemuadian beliau ruku’ dan memperpanjang ruku’nya.
Kemudian beliau berdiri lagi dan memperpanjang berdiri tersebut namun lebih
singkat dari berdiri yang sebelumnya. Kemudian beliau ruku’ kembali dan
memperpanjang ruku’ tersebut namun lebih singkat dari ruku’ yang sebelumnya.
Kemudian beliau sujud dan memperpanjang sujud tersebut. Pada raka’at berikutnya
beliau mengerjakannya seperti raka’at pertama. Lantas beliau beranjak (usai
mengerjakan shalat tadi), sedangkan matahari telah nampak.” (HR. Bukhari, no.
1044)
Ringkasnya, agar tidak terlalu berpanjang lebar, tata cara
shalat gerhana adalah sebagai berikut:
[1] Berniat di dalam hati dan tidak dilafadzkan karena
melafadzkan niat termasuk perkara yang tidak ada tuntunannya dari Nabi kita
shallallahu ’alaihi wa sallam dan beliau shallallahu ’alaihi wa sallam juga
tidak pernah mengajarkannya lafadz niat pada shalat tertentu kepada para
sahabatnya.
[2] Takbiratul ihram yaitu bertakbir sebagaimana shalat
biasa.
[3] Membaca do’a istiftah dan berta’awudz, kemudian membaca
surat Al Fatihah dan membaca surat yang panjang (seperti surat Al Baqarah)
sambil dijaherkan (dikeraskan suaranya, bukan lirih) sebagaimana terdapat dalam
hadits Aisyah:
جَهَرَ
النَّبِىُّ – صلى الله عليه
وسلم – فِى صَلاَةِ الْخُسُوفِ
بِقِرَاءَتِهِ
”Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam
menjaherkan bacaannya ketika shalat gerhana.” (HR. Bukhari no. 1065 dan Muslim
no. 901)
[4] Kemudian ruku’ sambil memanjangkannya.
[5] Kemudian bangkit dari ruku’ (i’tidal) sambil mengucapkan
’SAMI’ALLAHU LIMAN HAMIDAH, RABBANA WA LAKAL HAMD’
[6] Setelah i’tidal ini tidak langsung sujud, namun
dilanjutkan dengan membaca surat Al Fatihah dan surat yang panjang. Berdiri
yang kedua ini lebih singkat dari yang pertama.
[7] Kemudian ruku’ kembali (ruku’ kedua) yang panjangnya
lebih pendek dari ruku’ sebelumnya.
[8] Kemudian bangkit dari ruku’ (i’tidal).
[9] Kemudian sujud yang panjangnya sebagaimana ruku’, lalu
duduk di antara dua sujud kemudian sujud kembali.
[10] Kemudian bangkit dari sujud lalu mengerjakan raka’at
kedua sebagaimana raka’at pertama hanya saja bacaan dan gerakan-gerakannya
lebih singkat dari sebelumnya.
[11] Salam.
[12] Setelah itu imam menyampaikan khutbah kepada para
jama’ah yang berisi anjuran untuk berdzikir, berdo’a, beristighfar, sedekah,
dan membebaskan budak. (Lihat Zaadul Ma’ad, Ibnul Qayyim, 349-356, Darul Fikr
dan Shohih Fiqih Sunnah, 1/438)
Nasehat Terakhir
Saudaraku, takutlah dengan fenomena alami ini. Sikap yang
tepat ketika fenomena gerhana ini adalah takut, khawatir akan terjadi hari
kiamat. Bukan kebiasaan orang seperti kebiasaan orang sekarang ini yang hanya
ingin menyaksikan peristiwa gerhana dengan membuat album kenangan fenomena
tersebut, tanpa mau mengindahkan tuntunan dan ajakan Nabi shallallahu ’alaihi
wa sallam ketika itu. Siapa tahu peristiwa ini adalah tanda datangnya bencana
atau adzab, atau tanda semakin dekatnya hari kiamat. Lihatlah yang dilakukan
oleh Nabi kita shallallahu ’alaihi wa sallam:
عَنْ أَبِى مُوسَى قَالَ
خَسَفَتِ الشَّمْسُ فِى زَمَنِ النَّبِىِّ
-صلى الله عليه وسلم-
فَقَامَ فَزِعًا يَخْشَى أَنْ
تَكُونَ السَّاعَةُ حَتَّى أَتَى الْمَسْجِدَ
فَقَامَ يُصَلِّى بِأَطْوَلِ قِيَامٍ وَرُكُوعٍ وَسُجُودٍ
مَا رَأَيْتُهُ يَفْعَلُهُ فِى صَلاَةٍ قَطُّ
ثُمَّ قَالَ « إِنَّ هَذِهِ
الآيَاتِ الَّتِى يُرْسِلُ اللَّهُ
لاَ تَكُونُ لِمَوْتِ أَحَدٍ
وَلاَ لِحَيَاتِهِ وَلَكِنَّ اللَّهَ يُرْسِلُهَا يُخَوِّفُ
بِهَا عِبَادَهُ فَإِذَا رَأَيْتُمْ مِنْهَا
شَيْئًا فَافْزَعُوا إِلَى ذِكْرِهِ وَدُعَائِهِ
وَاسْتِغْفَارِهِ ».
Abu Musa Al Asy’ari radhiyallahu ‘anhu menuturkan, ”Pernah
terjadi gerhana matahari pada zaman Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Nabi lantas berdiri takut karena khawatir akan terjadi hari kiamat, sehingga
beliau pun mendatangi masjid kemudian beliau mengerjakan shalat dengan berdiri,
ruku’ dan sujud yang lama. Aku belum pernah melihat beliau melakukan shalat
sedemikian rupa.”
Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam lantas bersabda,
”Sesungguhnya ini adalah tanda-tanda kekuasaan Allah yang ditunjukkan-Nya.
Gerhana tersebut tidaklah terjadi karena kematian atau hidupnya seseorang. Akan
tetapi Allah menjadikan demikian untuk menakuti hamba-hamba-Nya. Jika kalian
melihat sebagian dari gerhana tersebut, maka bersegeralah untuk berdzikir,
berdo’a dan memohon ampun kepada Allah.” (HR. Muslim no. 912)
An Nawawi rahimahullah menjelaskan mengenai maksud kenapa
Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam takut, khawatir terjadi hari kiamat. Beliau
rahimahullah menjelaskan dengan beberapa alasan, di antaranya:
Gerhana tersebut merupakan tanda yang muncul sebelum
tanda-tanda kiamat seperti terbitnya matahari dari barat atau keluarnya Dajjal.
Atau mungkin gerhana tersebut merupakan sebagian tanda kiamat. (Syarh Muslim,
3/322)
Hendaknya seorang mukmin merasa takut kepada Allah, khawatir
akan tertimpa adzab-Nya. Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam saja sangat takut
ketika itu, padahal kita semua tahu bersama bahwa beliau shallallahu ’alaihi wa
sallam adalah hamba yang paling dicintai Allah. Lalu mengapa kita hanya
melewati fenomena semacam ini dengan perasaan biasa saja, mungkin hanya diisi
dengan perkara yang tidak bermanfaat dan sia-sia, bahkan mungkin diisi dengan
berbuat maksiat. Na’udzu billahi min dzalik.
Demikian penjelasan yang ringkas ini. Semoga tulisan ini
bermanfaat bagi seluruh kaum muslimin. Semoga kaum muslimin yang lain juga
dapat mengetahui hal ini. Semoga kita selalu mendapatkan ilmu yang bermanfaat,
dapat beramal sholih dan semoga kita selalu diberkahi rizki yang thoyib.
Pangukan, Sleman, 25 Muharram 1430 H
Yang selalu mengharapkan ampunan dan rahmat Rabbnya
Muhammad Abduh Tuasikal, S.T.
***
Penulis: Muhammad Abduh Tuasikal
Artikel www.muslim.or.id
Tidak ada komentar:
Posting Komentar