Rabu, 23 Maret 2016

Empat Macam Bentuk Cinta



Cinta (mahabbah) adalah amalan hati. Cinta dapat diungkapkan dengan kata-kata dan amal perbuatan. Akan tetapi dasar perasaan cinta berada di dalam hati seseorang. Cinta, ada yang terpuji dan adapula yang tercela.

Menurut Ibn Qayyim al-Jauziyyah rahimahullah bahwa ada empat macam bentuk mahabbah yang harus dibedakan antara satu sama lain, karena orang yang tidak dapat membedakannya pasti tersesat, yaitu: Mencintai Allah, mencintai apa saja yang dicintai oleh Allah, cinta untuk dan karena Allah, serta mencintai sesuatu dan mensejajarkannya dengan kecintaan kepada Allah.[1]
Klasifikasi macam-macam cinta (mahabbah) yang disampaikan Ibn al-Qayyim merupakan penjelasan yang sangat bagus, karena cinta bisa menjadi sebuah ibadah dan bisa pula menjadi sebuah dosa syirik yang mengeluarkan seseorang dari Islam.

  1. Mahabbahtullah (Mencintai Allah)
Mencintai Allah Ta’ala adalah ibadah wajib dan sebagai salah satu realisasi tauhid. Orang yang beriman akan mencintai Allah Ta’ala lebih dari segalanya. Cinta Allah Ta’ala merupakan dasar cinta dari segala bentuk mencinta yang dibenarkan dalam Islam.

Allah Ta’ala berfirman dalam al-Qur’an surat al-Baqarah ayat 165:

وَمِنَ النَّاسِ مَنْ يَتَّخِذُ مِنْ دُونِ اللَّهِ أَنْدَادًا يُحِبُّونَهُمْ كَحُبِّ اللَّهِ وَالَّذِينَ آمَنُوا أَشَدُّ حُبًّا لِلَّهِ

“Dan diantara manusia ada orang-orang yang menyembah tandingan-tandingan selain Allah; mereka mencintainya sebagaimana mereka mencintai Allah. Adapun orang-orang yang beriman mereka sangat mencintai Allah.”

Ibn Katsir rahimahullah menjelaskan maksud “Orang-orang yang beriman sangat mencintai Allah”, beliau mengatakan bahwa karena kecintaan orang-orang beriman kepada Allah, kesempurnaan pengetahuan tentang Allah, pengagungan dan pentauhidan mereka kepada Allah, maka mereka tidak berbuat syirik kepada Allah dengan sesuatu apapun, bahkan mereka beribadah hanya kepada Allah semata, bertawakal kepada Allah dan kembali kepada Allah dalam segala urusan mereka.[2]


Syaikhul Islam Ibn Taimiyyah rahimahullah berkata:

أَنَّ الْمُؤْمِنِينَ يُحِبُّونَ اللَّهَ أَكْثَرَ مِنْ مَحَبَّةِ الْمُشْرِكِينَ لِلَّهِ وَلِآلِهَتِهِمْ لِأَنَّ أُولَئِكَ أَشْرَكُوا فِي الْمَحَبَّةِ وَالْمُؤْمِنُونَ أَخْلَصُوهَا كُلَّهَا لِلَّهِ

Sesungguhnya orang-orang beriman, mereka mencintai Allah lebih dari kecintaan orang-orang musyrik terhadap Allah dan tuhan-tuhan mereka, hal itu dikarenakan mereka orang-orang musyrik melakukan kesyirikan dalam cinta (mahabbah), sedangkan orang-orang beriman mereka mengikhlaskan cinta tersebut hanya kepada Allah semata.[3]

Kejujuran mencintai Allah Ta’ala, tercermin dari tanda-tanda yang direalisasikan oleh seorang hamba, di antaranya yaitu: Mendahulukan perkara yang Allah cintai atas selainnya, itiba’ kepada Rasulallah, mencintai orang-orang yang mencintai Allah, membenci orang yang kufur kepada Allah dan berjihad di jalan Allah.

Untuk menyelamatkan diri dari Neraka, tidak cukup hanya berbekal cinta, karena orang-orang musyrik, kaum Nasrani, kaum Yahudi dan Ahlu al-Bida’ seperti Tasawuf merekapun mencintai Allah juga. Tapi, kecintaan mereka adalah palsu karena tidak membuktikan dengan melakukan apa-apa yang dicintai Allah Ta’ala.


  1. Mahabbatu ma yuhibbuhullah (mencintai apa saja yang dicintai oleh Allah)
Ibn Qayyim al-Jauziyyah menjelaskan bahwa kategori cinta (mahabbah) inilah yang memasukkan seseorang ke dalam Islam serta mengeluarkannya dari kekufuran. Manusia yang paling dicintai oleh Allah adalah orang-orang yang paling hebat dalam ber-mahabbah ma yuhibbuhullah.[4]
Dalam al-Qur’an, Allah Ta’ala banyak menyatakan kecintaannya kepada hamba-hamba-Nya, seperti kecintaan Allah kepada orang yang berbuat baik, orang yang sabar, orang yang bertakwa, orang yang bertaubat, orang-orang yang berjihad dan lain-lain.



Allah Ta’ala berfirman dalam al-Qur’an surat al-Baqarah ayat 195:

وَأَحْسِنُوا إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ الْمُحْسِنِين

“Dan berbuat baiklah kalian, karena sesungguhnya Allah mencintai orang-orang yang berbuat baik.”

Allah Ta’ala berfirman dalam al-Qur’an surat al-Baqarah ayat 222:

إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ التَّوَّابِينَ وَيُحِبُّ الْمُتَطَهِّرِين

“Sesungguhnya Allah mencintai orang-orang yang bertaubat dan mencintai orang-orang yang mensucikan diri.”

Allah Ta’ala berfirman dalam al-Qur’an surat Ali Imran ayat 76:

بَلَى مَنْ أَوْفَى بِعَهْدِهِ وَاتَّقَى فَإِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ الْمُتَّقِين

“Sebenarnya barang siapa menepati janji dan bertakwa, maka sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertakwa.”

Allah Ta’ala berfirman dalam al-Qur’an surat al-Shaff ayat 4:

إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ الَّذِينَ يُقَاتِلُونَ فِي سَبِيلِهِ صَفًّا كَأَنَّهُمْ بُنْيَانٌ مَرْصُوصٌ

“Sesungguhnya Allah mencintai orang-orang yang berperang dijalan-Nya dalam barisan yang teratur seakan-akan mereka seperti suatu bangunan yang tersusun kokoh.”


Ayat-ayat tersebut, menjelaskan orang-orang yang dicintai oleh Allah Ta’ala karena amal shalih yang telah mereka perbuat. Orang yang jujur mencintai Allah Ta’ala maka dia akan senang, gembira dan berharap akan kebaikan pada orang-orang yang dicintai Allah Ta’ala, yaitu hamba-hamba-Nya yang taat kepada Allah Ta’ala.

Di antara bukti terpenting mencintai Allah Ta’ala adalah itiba’ kepada sunnah-sunnah Rasulallah shallallhu ‘alaihi wasallam dan mencintai para sahabat-sahabat Nabi radhiallahu ‘anhum, karena mereka adalah orang-orang yang mencintai dan dicintai Allah Ta’ala.

Allah Ta’ala berfirman dalam al-Qur’an surat Ali Imran ayat 31:

قُلْ إِنْ كُنْتُمْ تُحِبُّونَ اللَّهَ فَاتَّبِعُونِي يُحْبِبْكُمُ اللَّهُ وَيَغْفِرْ لَكُمْ ذُنُوبَكُمْ وَاللَّهُ غَفُورٌ رَحِيمٌ

“Katakanlah: “Jika kalian (benar-benar) mencintai Allah, ikutilah aku, niscaya Allah mengasihi dan mengampuni dosa-dosa kalian.” Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.”


رَوَي اْلبُخَارِيُّ عَنْ أَنَسٍ عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: آيَةُ الإِيمَانِ حُبُّ الأَنْصَارِ، وَآيَةُ النِّفَاقِ بُغْضُ الأَنْصَارِ

Al-Bukhari meriwayatkan dari Anas radhiallahu ’anhu, dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Bukti keimanan adalah mencintai sahabat Anshar, dan bukti kemunafikan adalah membenci sahabat Anshar.” (HR. al-Bukhari No.17)


  1. Cinta untuk dan karena Allah Ta’ala
Dasar cinta untuk dan karena Allah Ta’ala adalah mahabatullah (mencintai Allah). Seseorang yang benar-benar mencintai Allah Ta’ala, dia akan mencintai seseorang atas dasar keimanan dan cintanya kepada Allah Ta’ala.

رَوَي اْلبُخَارِيُّ وَ مُسْلِمٌ عَنْ أَنَسٍ عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ : ثَلاَثٌ مَنْ كُنَّ فِيهِ وَجَدَ حَلاَوَةَ الإِيمَانِ أَنْ يَكُونَ اللَّهُ وَرَسُولُهُ أَحَبَّ إِلَيْهِ مِمَّا سِوَاهُمَا، وَأَنْ يُحِبَّ الْمَرْءَ لاَ يُحِبُّهُ إِلاَّ لِلَّهِ، وَأَنْ يَكْرَهَ أَنْ يَعُودَ فِي الْكُفْرِ كَمَا يَكْرَهُ أَنْ يُقْذَفَ فِي النَّارِ

Al-Bukhari dan Muslim meriwayatkan dari Anas radhiallahu ‘anhu, dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda. “Tiga perkara jika itu ada pada seseorang maka ia akan merasakan manisnya iman; orang yang manjadikan Allah dan Rasul-Nya lebih dia cintai daripada selain keduanya, mencintai seseorang yang ia tak mencintainya kecuali karena Allah, dan benci untuk kembali kepada kekafiran setelah Allah menyelamatkannya dari kekafiran tersebut sebagaimana ia benci untuk masuk neraka.” (HR. al-Bukhari No.16 dan Muslim No.163)

Hadits ini adalah hadits yang agung. Salah satu dasar dari dasar-dasar agama. Makna manisnya iman adalah menikmati ketaatan-ketaatan dan mampu menanggung beban dalam agama, serta mendahulukan itu semua dari materi dunia. Kecintaan seorang hamba karena Allah direalisasikan dengan menjalankan ketaatan kepada Allah dan meninggalkan yang menyelisihinya begitupula kecintaan kepada rasul.[5]

Begitupula sebaliknya, orang yang mencintai Allah Ta’ala, tidak akan mencintai orang-orang yang memusuhi Allah. Para sahabat Nabi radhiallahu ‘anhum adalah tauladan terbaik dalam merealisasikan cinta yang benar. Meraka lebih mencintai sesama meraka sekalipun budak dibanding keluarganya yang masih dalam kekufuran. Begitu pula sahabat Anshar yang menolong, membantu dan memberikan segalanya untuk kaum Muhajirin sekalipun mereka dalam kondisi butuh terhadap apa yang mereka berikan kepada sahabat Muhajirin.

Allah Ta’ala berfirman dalam al-Qur’an surat al-Mujadilah ayat 22:

لَا تَجِدُ قَوْمًا يُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ يُوَادُّونَ مَنْ حَادَّ اللَّهَ وَرَسُولَهُ


“Kamu tak akan mendapati kaum yang beriman pada Allah dan hari akhirat, saling berkasih-sayang dengan orang-orang yang menentang Allah dan Rasul-Nya.”

رَوَي اْلبُخَارِيُّ عَنْ أَنَسٍ عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ : لاَ يُؤْمِنُ أَحَدُكُمْ حَتَّى يُحِبَّ لأَخِيهِ مَا يُحِبُّ لِنَفْسِهِ

Al-Bukhari meriwayatkan dari Anas radhiallahu ‘anhu, dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, beliau bersabda, “Tidak sempurna keimanan salah seorang di antara kalian hingga ia mencintai saudaranya sebagaimana ia mencintai dirinya sendiri.” (HR. al-Bukhari No.13 dan Muslim No.169)

Dalil di atas menjelaskan bahwa tidak mungkin seseorang yang benar-benar beriman kepada Allah Ta’ala dan hari akhir, serta mengamalkan apa-apa yang disyariatkan, kemudian mereka mencintai dan memberikan loyalitas kepada orang-orang yang memusuhi Allah Ta’ala dan Rasul-Nya. Akan tetapi, seseorang yang beriman kepada Allah, dia akan mencintai saudara seagama sebagaimana mencintai dirinya sendiri, maksudnya adalah: menginginkan kebaikan, menangkal keburukan, membela harga diri, menghormati, dan lain-lain.


  1. Almahabbah Ma’a-Allah (mencintai sesuatu dan mensejajarkannya dengan kecintaan kepada Allah)
Kecintaan yang dihukumi sebagai sebuah kesyirikan adalah kecintaan peribadatan, yaitu cinta yang mengandung unsur ketundukan, pengagungan, ketaatan total, dan pengutamaan di atas segalanya, yang semuanya ditunjukan kepada selain Allah Ta’ala. Cinta semacam ini adalah kesyirikan jika dipersembahkan kepada Allah Ta’ala.[6]

Allah Ta’ala berfirman dalam al-Qur’an surat al-Baqarah ayat 165:

وَمِنَ النَّاسِ مَنْ يَتَّخِذُ مِنْ دُونِ اللَّهِ أَنْدَادًا يُحِبُّونَهُمْ كَحُبِّ اللَّهِ وَالَّذِينَ آمَنُوا أَشَدُّ حُبًّا لِلَّهِ

“Dan diantara manusia ada orang-orang yang menyembah tandingan-tandingan selain Allah; mereka mencintainya sebagaimana mereka mencintai Allah. Adapun orang-orang yang beriman amat sangat cintanya kepada Allah.”


Ibn Qayyim al-Jauziyyah menjelaskan bahwa Barangsiapa yang ber-mahabbah ma’allah terhadap sesuatu (bukan lillah atau fllah), maka ia berarti telah menjadikan sesuatu yang ia cintai selain Allah  itu sebagai “tandingan” (nidd) terhadap Allah. Ini adalah mehabbahnya kaum musyirikin.[7]
Apapun yang memalingkan seseorang dari Islam maka bisa disebut dengan “Andâd” yaitu tandingan-tandingan yang dicintai selain Allah Ta’ala, dan itu bisa berupa harta benda, keluarga, tempat tinggal, perniagaan, dan lain-lain sebagaimana difirmankan Allah Ta’ala dalam al-Qur’an surat al-Taubah ayat 24.

Syaikhul Islam Ibn Taimiyyah rahimahullah berkata:

وَأَمَّاالْمَحَبَّةُ الشركيةفَلَيْسَ فِيهَا مُتَابَعَةٌ لِلرَّسُولِ وَلَا بُغْضٌ لِعَدُوِّهِ وَمُجَاهَدَةٌ لَهُ كَمَا يُوجَدُ فِي الْيَهُودِ وَالنَّصَارَى وَالْمُشْرِكِينَ يَدَّعُونَ مَحَبَّةَ اللَّهِ وَلَا يُتَابِعُونَ الرَّسُولَ وَلَا يُجَاهِدُونَ عَدُوَّهُ . وَكَذَلِكَأَهْلُ الْبِدَعِالْمُدَّعُونَ لِلْمَحَبَّةِ لَهُمْ مِنْ الْإِعْرَاضِ عَنْ اتِّبَاعِ الرَّسُولِ

Adapun cinta yang syirik adalah cinta yang tidak mengikuti Rasulallah, tidak membenci musuh-musuhnya, dan tidak pula berjihad di jalan-Nya, sebagaimana cinta tersebut terdapat pada yahudi, Nashrani dan orang-orang musyrik, mereka mengklaim mencintai Allah, akantetapi mereka tidak mengikuti Rasul dan tidak pula berjihad melawan musuh-musuhnya. Begitu pula klaim cinta Ahlu al-Bida’ yang berpaling dari itiba’ kepada Rasul.[8]

Dari penjelasan ibn Taimiyyah ini, maka kecintaan yang benar adalah kecintaan yang sesuai dengan sunnah Rasul, dan jika tidak sesuai dengan sunnah Rasul maka kecintaan tersebut bisa menjadi kesyirikan. Maka, QS. Ali Imran ayat 31 adalah bukti konkrit bahwa mengikuti Rasul merupakan bukti kebenaran mencintai Allah Ta’ala.

Ditulis oleh: Abu Mujahidah al-Ghifari, Lc, M.E.I.

Disampaikan Pada Kajian Harian Masjid Ali ibn Abi Thalib 17 April 2014

FOOTNOTE:
[1] Lihat, Sulaiman ibn Nashir ibn Abdullah al-Ulwan, Penjelasan Tentang Pembatal Keislaman, Solo: at-Tibyan, Cetakan Keempat, 2000, Hlm.19-20
[2] Ahmad Syâkir, Umdah at-Tafsîr an al-Hâfidz ibn Katsir, Beirut: Dâr al-Wafa, Cetakan Kedua, 2005, Jilid 1, Hlm.205
[3] Ahmad Ibn Abd al-Halim Ibn Taimiyah, Majmȗ’ah al-Fatâwa, Takhrîj: Amir al-Jazar dan Anwar al-Bâz, Riyadh: Maktabah al-Ubaikan, Cetakan Pertama, 1998 , Jilid 2, Hlm.628
[4] Lihat, Sulaiman ibn Nashir ibn Abdullah al-Ulwan, Penjelasan Tentang Pembatal Keislaman, Solo: at-Tibyan, Cetakan Keempat, 2000, Hlm.19
[5] Ahmad ibn Ali ibn Hajar al-Asqalâni, Fath al-Bâri Syarhu Shahîh al-Bukhâri, Riyadh: Dâr al-Salam, Cetakan Pertama, 2000, Jilid 1, Hlm.85
[6] Lihat, Abd al-Rahman ibn Muhammad ibn Qasim al-Najdi, Al-Durar al-Saniyah Fi al-Ajwibah al-Najdiyah, Riyadh: Terbitan khusus Warosah Abdurrahman ibn Muhammad Qaasim, Cetakan ketujuh, 2004, Jilid 2, Hlm.322
Menurut Syaikh Abd al-Lathif ibn Abd al-Rahman ibn Hasan bahwa cinta ada tiga macam: Pertama, Cinta tabi’i seperti kecintaan orang yang lapar terhadap makanan dan orang yang haus terhadap minuman. Kedua, Cinta kasih sayang dan kerinduan seperti kecintaan orang tua terhadap anak kecil. Ketiga, Cinta kesenangan dan keterikatan seperti kecintaan seseorang terhadap perniagaan, ataupun kecintaan seseorang sesama mereka. Adapun yang tidak boleh kecuali untuk Allah Ta’ala adalah yaitu cinta peribadatan yang mengandung ketundukan, pengagungan dan ketaatan total. (Ibid, Hlm.322)
[7] Lihat, Sulaiman ibn Nashir ibn Abdullah al-Ulwan, Penjelasan Tentang Pembatal Keislaman, Solo: at-Tibyan, Cetakan Keempat, 2000, Hlm.20
[8] Ahmad Ibn Abd al-Halim Ibn Taimiyah, Majmȗ’ah al-Fatâwa, Takhrîj: Amir al-Jazar dan Anwar al-Bâz, Riyadh: Maktabah al-Ubaikan, Cetakan Pertama, 1998 , Jilid 2, Hlm.630



Tidak ada komentar:

Posting Komentar