Saudaraku … Artikel kali ini adalah lanjutan artikel
sebelumnya yang membicarakan mengenai bagaimana beradab dengan orang tua.
Risalah ini kami sarikan dari pembahasan Syaikh Musthofa Al Adawi hafizhohullah
dalam kitab beliau yang sangat bermanfaat “Fiqh
At Ta’amul Ma’al Walidain“. Semoga bermanfaat.
Ketujuh: Janganlah mencela kedua orang tuamu dan janganlah
menyebabkan mereka mendapatkan celaan
Dari Abdullah bin ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma, (beliau
berkata bahwa) Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
إِنَّ مِنْ أَكْبَرِ الْكَبَائِرِ
أَنْ يَلْعَنَ الرَّجُلُ وَالِدَيْهِ
“Sesungguhnya di antara dosa besar
adalah seseorang mencela kedua orang tuanya.” Lalu ada yang berkata,
يَا رَسُولَ اللَّهِ وَكَيْفَ
يَلْعَنُ الرَّجُلُ وَالِدَيْهِ
“Wahai Rasulullah, bagaimana
seseorang bisa mencela kedua orang tuanya.” Beliau shallallahu ‘alaihi wa
sallam bersabda,
يَسُبُّ
الرَّجُلُ أَبَا الرَّجُلِ ،
فَيَسُبُّ أَبَاهُ ، وَيَسُبُّ
أَمَّهُ
“Seseorang mencela ayah orang lain,
lalu orang lain tersebut mencela ayahnya. Dan seseorang mencela ibu orang lain,
lalu orang lain tersebut mencela ibunya.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Kedelapan: Kecintaan kepada Allah dan Rasul-Nya harus lebih
didahulukan daripada kecintaan kepada kedua orang tua
Dari Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
لاَ يُؤْمِنُ أَحَدُكُمْ حَتَّى أَكُونَ أَحَبَّ
إِلَيْهِ مِنْ وَلَدِهِ وَوَالِدِهِ
وَالنَّاسِ أَجْمَعِينَ
“Salah seorang di antara kalian
tidak beriman (dengan sempurna) sampai
aku lebih dicintainya dari anak dan kedua orang tuanya serta seluruh manusia.”
(HR. Bukhari dan Muslim)
Juga dari Anas radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda,
ثَلاَثٌ
مَنْ كُنَّ فِيهِ وَجَدَ
حَلاَوَةَ الإِيمَانِ أَنْ يَكُونَ اللَّهُ
وَرَسُولُهُ أَحَبَّ إِلَيْهِ مِمَّا
سِوَاهُمَا ، وَأَنْ يُحِبَّ
الْمَرْءَ لاَ يُحِبُّهُ إِلاَّ
لِلَّهِ ، وَأَنْ يَكْرَهَ
أَنْ يَعُودَ فِى الْكُفْرِ
كَمَا يَكْرَهُ أَنْ يُقْذَفَ فِى
النَّارِ
“Tiga perkara yang seseorang akan
merasakan manisnya iman : [1] Allah dan Rasul-Nya lebih dicintainya dari selain
keduanya, [2] tidaklah mencintai seseorang kecuali karena Allah, [3] benci
untuk kembali pada kekufuran sebagaimana dia benci untuk dilemparkan dalam
neraka.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Kecintaan di sini mengkonsekuensikan seseorang untuk
mendahulukan perintah Allah dan Rasul-Nya dibanding perintah kedua orang tua.
Ibnu Hajar dalam Fathul Bari menukil perkataan Al Khoththobi, di mana beliau
mengatakan, “Kecintaan yang dimaksudkan di sini adalah kecintaan ikhtiyar
(kemauan sendiri) dan bukanlah cinta yang sifatnya tabi’at.”
Oleh karena itu, tidak ada ketaatan kepada kedua orang tua
dan selainnya dalam melakukan kesyirikan, kemungkaran, bid’ah, kesesatan, dan
maksiat. Allah Ta’ala berfirman,
وَلَا تُطِيعُوا أَمْرَ الْمُسْرِفِينَ (151) الَّذِينَ يُفْسِدُونَ
فِي الْأَرْضِ وَلَا يُصْلِحُونَ (152)
“Dan janganlah kamu mentaati
perintah orang-orang yang melewati batas, yang membuat kerusakan di muka bumi
dan tidak mengadakan perbaikan.” (QS. Asy Syu’ara [26] : 151-152)
وَلَا تُطِعْ مَنْ أَغْفَلْنَا
قَلْبَهُ عَنْ ذِكْرِنَا وَاتَّبَعَ
هَوَاهُ وَكَانَ أَمْرُهُ فُرُطًا
“Dan janganlah kamu mengikuti orang
yang hatinya telah Kami lalaikan dari mengingati Kami, serta menuruti hawa
nafsunya dan adalah keadaannya itu melewati batas.” (QS. Al Kahfi [18] : 28)
وَإِنْ
جَاهَدَاكَ عَلَى أَنْ تُشْرِكَ
بِي مَا لَيْسَ لَكَ
بِهِ عِلْمٌ فَلَا تُطِعْهُمَا
وَصَاحِبْهُمَا فِي الدُّنْيَا مَعْرُوفًا
“Dan jika keduanya memaksamu untuk
mempersekutukan dengan Aku sesuatu yang tidak ada pengetahuanmu tentang itu,
maka janganlah kamu mengikuti keduanya, dan pergaulilah keduanya di dunia
dengan baik.” (QS. Luqman [31] : 15)
Sebab turunnya ayat ini adalah :
Sebagaimana dikeluarkan oleh Muslim dalam kitab Shohihnya
dari Mush’ab bin Sa’ad dari ayahnya (yaitu Sa’ad) bahwa beberapa ayat Al Qur’an
turun padanya. Dia berkata,
حَلَفَتْ
أُمُّ سَعْدٍ أَنْ لاَ
تُكَلِّمَهُ أَبَدًا حَتَّى يَكْفُرَ
بِدِينِهِ وَلاَ تَأْكُلَ وَلاَ
تَشْرَبَ. قَالَتْ زَعَمْتَ أَنَّ
اللَّهَ وَصَّاكَ بِوَالِدَيْكَ وَأَنَا أُمُّكَ وَأَنَا
آمُرُكَ بِهَذَا. قَالَ مَكَثَتْ ثَلاَثًا
حَتَّى غُشِىَ عَلَيْهَا مِنَ
الْجَهْدِ فَقَامَ ابْنٌ لَهَا
يُقَالُ لَهُ عُمَارَةُ فَسَقَاهَا
فَجَعَلَتْ تَدْعُو عَلَى سَعْدٍ
فَأَنْزَلَ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ
فِى الْقُرْآنِ هَذِهِ الآيَةَ (وَوَصَّيْنَا
الإِنْسَانَ بِوَالِدَيْهِ حُسْنًا) (وَإِنْ جَاهَدَاكَ عَلَى
أَنْ تُشْرِكَ بِى) وَفِيهَا (وَصَاحِبْهُمَا
فِى الدُّنْيَا مَعْرُوفًا)
Ummu Sa’ad (Ibunya Sa’ad) bersumpah tidak akan mengajaknya
bicara selamanya sampai dia kafir (murtad) dari agamanya, dan dia juga tidak
akan makan dan minum. Ibunya mengatakan, ‘Sesungguhnya Allah mewasiatkan padamu
untuk berbakti pada kedua orang tuamu, dan aku adalah ibumu. Saya perintahkan
padamu untuk berbuat itu (memerintahkan untuk murtad, pen)’.
Sa’ad mengatakan, “Lalu Ummu Sa’ad diam selama tiga hari
kemudian jatuh pingsan karena kecapekan. Kemudian datanglah anaknya yang
bernama ‘Amaroh, lantas memberi minum padanya dan mendoakan (kejelekan) pada
Sa’ad. Lalu Allah menurunkan ayat,
وَوَصَّيْنَا
الْإِنْسَانَ بِوَالِدَيْهِ حُسْنًا
“Dan Kami wajibkan manusia (berbuat)
kebaikan kepada dua orang ibu-bapaknya.” (QS. Al ‘Ankabut [29] : 8)
Dan juga ayat,
وَإِنْ
جَاهَدَاكَ عَلَى أَنْ تُشْرِكَ
بِي
“Dan jika keduanya memaksamu untuk
mempersekutukan dengan Aku.” (QS. Luqman [31] : 15) yang di dalamnya terdapat
firman Allah,
وَصَاحِبْهُمَا
فِي الدُّنْيَا مَعْرُوفًا
“Dan pergaulilah keduanya di dunia
dengan baik.” (QS. Luqman [31] : 15). Lalu beliau menyebutkan lanjutan hadits.
Kesembilan: Menaati kedua orang tua hanya dalam kebajikan
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
لاَ طَاعَةَ فِى مَعْصِيَةٍ
، إِنَّمَا الطَّاعَةُ
فِى الْمَعْرُوفِ
“Tidak ada ketaatan dalam melakukan
maksiat. Sesungguhnya ketaatan hanya dalam melakukan kebajikan.” (HR. Bukhari
dan Muslim)
Dari Ibnu Umar, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
bersabda,
السَّمْعُ
وَالطَّاعَةُ عَلَى الْمَرْءِ الْمُسْلِمِ
، فِيمَا أَحَبَّ
وَكَرِهَ ، مَا لَمْ
يُؤْمَرْ بِمَعْصِيَةٍ ، فَإِذَا أُمِرَ
بِمَعْصِيَةٍ فَلاَ سَمْعَ وَلاَ
طَاعَةَ
“Mendengar dan taat pada seorang
muslim pada apa yang dia sukai atau benci selama tidak diperintahkan untuk
bermaksiat. Apabila diperintahkan untuk bermaksiat, maka tidak ada mendengar
dan taat.” (HR. Bukhari no. 7144)
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
أَطِعْ
أَبَاكَ مَا دَامَ حَيًّا
وَلاَ تَعْصِهِ
“Tatatilah ayahmu selama dia hidup
dan selama tidak diperinahkan untuk bermaksiat.” (HR. Ahmad. Dikatakan oleh
Syu’aib Al Arnauth bahwa sanadnya hasan)
Oleh karena itu, janganlah kita mengikuti orang tua kita dan
nenek moyang kita dalam rangka bermaksiat kepada Allah. Hal ini telah dilarang
dalam banyak ayat, di antaranya perkataan kaum Syu’aib kepada Nabi Syu’aib :
قَالُوا
يَا شُعَيْبُ أَصَلَاتُكَ تَأْمُرُكَ أَنْ نَتْرُكَ مَا
يَعْبُدُ آَبَاؤُنَا أَوْ أَنْ نَفْعَلَ
فِي أَمْوَالِنَا مَا نَشَاءُ
“Mereka berkata: “Hai Syu’aib,
apakah sembahyangmu menyuruh kamu agar kami meninggalkan apa yang disembah oleh
bapak-bapak kami atau melarang kami memperbuat apa yang kami kehendaki tentang
harta kami.” (QS. Hud [11] : 87)
Dan berkata pula kaum Fir’aun kepada Musa,
قَالُوا
أَجِئْتَنَا لِتَلْفِتَنَا عَمَّا وَجَدْنَا عَلَيْهِ
آَبَاءَنَا
“Mereka berkata: “Apakah kamu datang
kepada kami untuk memalingkan kami dari apa yang kami dapati nenek moyang kami
mengerjakannya.”” (QS. Yunus [10] : 78)
Dan berkata pula kaum Hud kepada Nabinya,
قَالُوا
أَجِئْتَنَا لِنَعْبُدَ اللَّهَ وَحْدَهُ وَنَذَرَ
مَا كَانَ يَعْبُدُ آَبَاؤُنَا
فَأْتِنَا بِمَا تَعِدُنَا إِنْ
كُنْتَ مِنَ الصَّادِقِينَ (70) قَالَ
قَدْ وَقَعَ عَلَيْكُمْ مِنْ
رَبِّكُمْ رِجْسٌ وَغَضَبٌ أَتُجَادِلُونَنِي
فِي أَسْمَاءٍ سَمَّيْتُمُوهَا أَنْتُمْ وَآَبَاؤُكُمْ مَا نَزَّلَ اللَّهُ
بِهَا مِنْ سُلْطَانٍ
“Mereka berkata: “Apakah kamu datang
kepada kami, agar kami hanya menyembah Allah saja dan meninggalkan apa yang
biasa disembah oleh bapak-bapak kami? maka datangkanlah azab yang kamu ancamkan
kepada kami jika kamu termasuk orang-orang yang benar.” Ia berkata: “Sungguh
sudah pasti kamu akan ditimpa azab dan kemarahan dari Tuhanmu”. Apakah kamu
sekalian hendak berbantah dengan aku tentang nama-nama (berhala) yang kamu
beserta nenek moyangmu menamakannya, padahal Allah sekali-kali tidak menurunkan
hujjah untuk itu?” (QS. Al A’raaf [7] : 70-71)
Karena sering mengikuti nenek moyang inilah sering
terjerumus dalam keharaman. Allah Ta’ala berfirman,
وَإِذَا
فَعَلُوا فَاحِشَةً قَالُوا وَجَدْنَا عَلَيْهَا
آَبَاءَنَا وَاللَّهُ أَمَرَنَا بِهَا قُلْ إِنَّ
اللَّهَ لَا يَأْمُرُ بِالْفَحْشَاءِ
أَتَقُولُونَ عَلَى اللَّهِ مَا
لَا تَعْلَمُونَ
“Dan apabila mereka melakukan
perbuatan keji , mereka berkata: Kami mendapati nenek moyang kami mengerjakan
yang demikian itu, dan Allah menyuruh kami mengerjakannya.” Katakanlah:
“Sesungguhnya Allah tidak menyuruh (mengerjakan) perbuatan yang keji.” Mengapa
kamu mengada-adakan terhadap Allah apa yang tidak kamu ketahui?”(QS. Al A’raaf
[7] : 28)
Adapun mengikuti nenek moyang yang berada dalam kebaikan,
petunjuk dan iman, maka tidak ragu itu adalah wajib bahkan merupakan salah satu
kewajiban. Allah Ta’ala berfirman,
وَاتَّبَعْتُ
مِلَّةَ آَبَائِي إِبْرَاهِيمَ وَإِسْحَاقَ وَيَعْقُوبَ مَا كَانَ لَنَا
أَنْ نُشْرِكَ بِاللَّهِ مِنْ شَيْءٍ
“Dan aku pengikut agama
bapak-bapakku yaitu Ibrahim, Ishak dan Ya’qub. Tiadalah patut bagi kami (para
Nabi) mempersekutukan sesuatu apapun dengan Allah.” (QS. Yusuf [12] : 38)
Dan berkata anak Ya’qub ketika Ya’qub berkata pada mereka,
مَا تَعْبُدُونَ مِنْ بَعْدِي قَالُوا
نَعْبُدُ إِلَهَكَ وَإِلَهَ آَبَائِكَ إِبْرَاهِيمَ وَإِسْمَاعِيلَ وَإِسْحَاقَ إِلَهًا وَاحِدًا وَنَحْنُ
لَهُ مُسْلِمُونَ
“Apa yang kamu sembah
sepeninggalku?” Mereka menjawab: “Kami akan menyembah Tuhanmu dan Tuhan nenek
moyangmu, Ibrahim, Ismail dan Ishaq, (yaitu) Tuhan Yang Maha Esa dan kami hanya
tunduk patuh kepada-Nya”.” (QS. Al Baqarah [2] : 133)
Allah Ta’ala juga berfirman,
وَاتَّبِعْ
سَبِيلَ مَنْ أَنَابَ إِلَيَّ
“Dan ikutilah jalan orang yang
kembali kepada-Ku.” (QS. Lukman [31] : 15)
Dari Ibnu Abbas, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
bersabda,
إِنَّ أَبَاكُمَا كَانَ يُعَوِّذُ بِهَا
إِسْمَاعِيلَ وَإِسْحَاقَ ، أَعُوذُ بِكَلِمَاتِ
اللَّهِ التَّامَّةِ مِنْ كُلِّ شَيْطَانٍ
وَهَامَّةٍ ، وَمِنْ كُلِّ
عَيْنٍ لاَمَّةٍ
“Sesungguhnya kedua nenek moyangmu
yaitu Isma’il dan Ishaq berta’awwudz (meminta perlindungan) dengannya (yaitu)
‘a’udzu bi kalimatillahi taammati min kulli syaithonin wa haammatin, wa min
kulli ‘ainin laammatin. [Aku berlindung dengan kalimat Allah yang sempurna dari
setiap setan dan binatang berbisa dan dari setiap ‘ain yaitu pandangan
hasad/jahat]”(HR. Bukhari no. 3371)
Kesepuluh: Masih menjalin hubungan dengan orang tua yang
musyrik
Kita harus tetap berinteraksi dengan kedua orang tua
kita dalam melakukan kebajikan walaupun
dia adalah musyrik. Allah Ta’ala berfirman,
وَإِنْ
جَاهَدَاكَ عَلَى أَنْ تُشْرِكَ
بِي مَا لَيْسَ لَكَ
بِهِ عِلْمٌ فَلَا تُطِعْهُمَا
وَصَاحِبْهُمَا فِي الدُّنْيَا مَعْرُوفًا
“Dan jika keduanya memaksamu untuk
mempersekutukan dengan Aku sesuatu yang tidak ada pengetahuanmu tentang itu,
maka janganlah kamu mengikuti keduanya, dan pergaulilah keduanya di dunia
dengan baik.” (QS. Lukman [31] : 15)
Namun ingatlah bahwa berbakti dan berbuat baik kepada orang
tua yang musyrik tidak melazimkan adanya rasa cinta dan kasih sayang dalam
masalah agama.
Karena Allah Ta’ala berfirman,
لَا تَجِدُ قَوْمًا يُؤْمِنُونَ
بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآَخِرِ يُوَادُّونَ مَنْ حَادَّ اللَّهَ
وَرَسُولَهُ وَلَوْ كَانُوا آَبَاءَهُمْ
أَوْ أَبْنَاءَهُمْ أَوْ إِخْوَانَهُمْ أَوْ
عَشِيرَتَهُمْ أُولَئِكَ كَتَبَ فِي قُلُوبِهِمُ
الْإِيمَانَ وَأَيَّدَهُمْ بِرُوحٍ مِنْهُ
“Kamu tak akan mendapati kaum yang
beriman pada Allah dan hari akhirat, saling berkasih-sayang dengan orang-orang
yang menentang Allah dan Rasul-Nya, sekalipun orang-orang itu bapak-bapak, atau
anak-anak atau saudara-saudara ataupun keluarga mereka. Meraka itulah
orang-orang yang telah menanamkan keimanan dalam hati mereka dan menguatkan
mereka dengan pertolongan yang datang daripada-Nya.” (QS. Al Mujadilah [58] :
22). Silakan simak artikel terkait mengenai interaksi dengan non muslim di
sini.
Semoga Allah memudahkan kita jalan menuju surga disebabkan
amal bakti pada orang tua.
Segala puji bagi Allah yang dengan nikmat-Nya segala
kebaikan menjadi sempurna.
Diselesaikan di Pondok Sahabat Pogung Kidul, 15 Rabi’uts
Tsani 1429 (21-04-08)
Penulis: Muhammad Abduh Tuasikal
Artikel https://rumaysho.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar