Tahapan pertama:
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam melaksanakan puasa ‘Asyura di Makkah dan
beliau tidak perintahkan yang lain untuk melakukannya.
Dari ’Aisyah
-radhiyallahu ’anha-, beliau berkata,
كَانَ
يَوْمُ
عَاشُورَاءَ
تَصُومُهُ
قُرَيْشٌ
فِى
الْجَاهِلِيَّةِ
،
وَكَانَ
رَسُولُ
اللَّهِ
– صلى
الله
عليه
وسلم
– يَصُومُهُ
،
فَلَمَّا
قَدِمَ
الْمَدِينَةَ
صَامَهُ
،
وَأَمَرَ
بِصِيَامِهِ
،
فَلَمَّا
فُرِضَ
رَمَضَانُ
تَرَكَ
يَوْمَ
عَاشُورَاءَ
،
فَمَنْ
شَاءَ
صَامَهُ
،
وَمَنْ
شَاءَ
تَرَكَهُ
”Di zaman jahiliyah dahulu, orang
Quraisy biasa melakukan puasa ’Asyura. Rasulullah shallallahu ’alaihi wa sallam
juga melakukan puasa tersebut. Tatkala tiba di Madinah, beliau melakukan puasa
tersebut dan memerintahkan yang lain untuk melakukannya. Namun tatkala puasa
Ramadhan diwajibkan, beliau meninggalkan puasa ’Asyura. (Lalu beliau
mengatakan:) Barangsiapa yang mau, silakan berpuasa. Barangsiapa yang mau,
silakan meninggalkannya (tidak berpuasa).”[11]
Tahapan kedua:
Ketika tiba di Madinah, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam melihat Ahlul Kitab
melakukan puasa ‘Asyura dan memuliakan hari tersebut. Lalu beliau pun ikut
berpuasa ketika itu. Kemudian ketika itu, beliau memerintahkan pada para
sahabat untuk ikut berpuasa. Melakukan puasa ‘Asyura ketika itu semakin
ditekankan perintahnya. Sampai-sampai para sahabat memerintah anak-anak kecil
untuk turut berpuasa.
Dari Ibnu Abbas
radhiyallahu ’anhuma, beliau berkata,
أَنَّ
رَسُولَ
اللَّهِ
-صلى
الله
عليه
وسلم-
قَدِمَ
الْمَدِينَةَ
فَوَجَدَ
الْيَهُودَ
صِيَامًا
يَوْمَ
عَاشُورَاءَ
فَقَالَ
لَهُمْ
رَسُولُ
اللَّهِ
-صلى
الله
عليه
وسلم-
« مَا
هَذَا
الْيَوْمُ
الَّذِى
تَصُومُونَهُ
». فَقَالُوا
هَذَا
يَوْمٌ
عَظِيمٌ
أَنْجَى
اللَّهُ
فِيهِ
مُوسَى
وَقَوْمَهُ
وَغَرَّقَ
فِرْعَوْنَ
وَقَوْمَهُ
فَصَامَهُ
مُوسَى
شُكْرًا
فَنَحْنُ
نَصُومُهُ.
فَقَالَ
رَسُولُ
اللَّهِ
-صلى
الله
عليه
وسلم-
« فَنَحْنُ
أَحَقُّ
وَأَوْلَى
بِمُوسَى
مِنْكُمْ
». فَصَامَهُ
رَسُولُ
اللَّهِ
-صلى
الله
عليه
وسلم-
وَأَمَرَ
بِصِيَامِهِ.
“Ketika tiba di Madinah, Rasulullah
shallallahu ’alaihi wa sallam mendapati orang-orang Yahudi melakukan puasa
’Asyura. Kemudian Rasulullah shallallahu ’alaihi wa sallam bertanya, ”Hari yang
kalian bepuasa ini adalah hari apa?” Orang-orang Yahudi tersebut menjawab, ”Ini
adalah hari yang sangat mulia. Ini adalah hari di mana Allah menyelamatkan Musa
dan kaumnya. Ketika itu pula Fir’aun dan kaumnya ditenggelamkan. Musa berpuasa
pada hari ini dalam rangka bersyukur, maka kami pun mengikuti beliau berpuasa
pada hari ini”. Rasulullah shallallahu ’alaihi wa sallam lantas berkata, ”Kita
seharusnya lebih berhak dan lebih utama mengikuti Musa daripada kalian.”. Lalu
setelah itu Rasulullah shallallahu ’alaihi wa sallam memerintahkan kaum
muslimin untuk berpuasa.”[12]
Apakah ini berarti
Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam meniru-niru (tasyabbuh dengan) Yahudi?
An Nawawi
–rahimahullah- menjelaskan, ”Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam biasa melakukan
puasa ’Asyura di Makkah sebagaimana dilakukan pula oleh orang-orang Quraisy.
Kemudian Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam tiba di Madinah dan menemukan orang
Yahudi melakukan puasa ‘Asyura, lalu beliau shallallahu ’alaihi wa sallam pun
ikut melakukannya. Namun beliau melakukan puasa ini berdasarkan wahyu, berita
mutawatir (dari jalur yang sangat banyak), atau dari ijtihad beliau, dan bukan
semata-mata berita salah seorang dari mereka (orang Yahudi). Wallahu
a’lam.”[13]
Para ulama
berselisih pendapat apakah puasa ‘Asyura sebelum diwajibkan puasa Ramadhan
dihukumi wajib ataukah sunnah mu’akkad? Di sini ada dua pendapat:
Pendapat pertama:
Sebelum diwajibkan puasa Ramadhan, pada masa tahapan kedua, puasa ‘Asyura
dihukumi wajib. Ini adalah pendapat Imam Abu Hanifah, Imam Ahmad dan Abu Bakr
Al Atsrom.
Pendapat kedua:
Pada masa tahapan kedua ini, puasa ‘Asyura dihukumi sunnah mu’akkad. Ini adalah
pendapat Imam Asy Syafi’i dan kebanyakan dari ulama Hambali.[14]
Namun yang jelas
setelah datang puasa Ramadhan, puasa ‘Asyura tidaklah diwajibkan lagi dan
dinilai sunnah. Hal ini telah menjadi kesepakatan para ulama sebagaimana
disebutkan oleh An Nawawi -rahimahullah-.[15]
Tahapan ketiga:
Ketika diwajibkannya puasa Ramadhan, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak
memerintahkan para sahabat untuk berpuasa ‘Asyura dan tidak terlalu menekankannya.
Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam mengatakan bahwa siapa yang ingin berpuasa,
silakan dan siapa yang tidak ingin berpuasa, silakan. Hal ini sebagaimana
dikatakan oleh ’Aisyah radhiyallahu ’anha dalam hadits yang telah lewat dan
dikatakan pula oleh Ibnu ’Umar berikut ini. Ibnu ’Umar -radhiyallahu ’anhuma-
mengatakan,
أَنَّ
أَهْلَ
الْجَاهِلِيَّةِ
كَانُوا
يَصُومُونَ
يَوْمَ
عَاشُورَاءَ
وَأَنَّ
رَسُولَ
اللَّهِ
-صلى
الله
عليه
وسلم-
صَامَهُ
وَالْمُسْلِمُونَ
قَبْلَ
أَنْ
يُفْتَرَضَ
رَمَضَانُ
فَلَمَّا
افْتُرِضَ
رَمَضَانُ
قَالَ
رَسُولُ
اللَّهِ
-صلى
الله
عليه
وسلم-
« إِنَّ
عَاشُورَاءَ
يَوْمٌ
مِنْ
أَيَّامِ
اللَّهِ
فَمَنْ
شَاءَ
صَامَهُ
وَمَنْ
شَاءَ
تَرَكَهُ.
“Sesungguhnya orang-orang Jahiliyah
biasa melakukan puasa pada hari ’Asyura. Rasulullah shallallahu ’alaihi wa
sallam pun melakukan puasa tersebut sebelum diwajibkannya puasa Ramadhan,
begitu pula kaum muslimin saat itu. Tatkala Ramadhan diwajibkan, Rasulullah
shallallahu ’alaihi wa sallam mengatakan: Sesungguhnya hari Asyura adalah hari
di antara hari-hari Allah. Barangsiapa yang ingin berpuasa, silakan berpuasa.
Barangsiapa meninggalkannya juga silakan.”[16]
Ibnu Rajab
-rahimahullah- mengatakan, “Setiap hadits yang serupa dengan ini menunjukkan
bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak memerintahkan lagi untuk
melakukan puasa ‘Asyura setelah diwajibkannya puasa Ramadhan. Akan tetapi,
beliau meninggalkan hal ini tanpa melarang jika ada yang masih tetap
melaksanakannya. Jika puasa ‘Asyura sebelum diwajibkannya puasa Ramadhan
dikatakan wajib, maka selanjutnya apakah jika hukum wajib di sini dihapus
(dinaskh) akan beralih menjadi mustahab (disunnahkan)? Hal ini terdapat
perselisihan di antara para ulama.
Begitu pula jika
hukum puasa ‘Asyura sebelum diwajibkannya puasa Ramadhan adalah sunnah muakkad,
maka ada ulama yang mengatakan bahwa hukum puasa Asyura beralih menjadi sunnah
saja tanpa muakkad (ditekankan). Oleh karenanya, Qois bin Sa’ad mengatakan, “Kami
masih tetap melakukannya.”[17]
Intinya, puasa
‘Asyura setelah diwajibkannya puasa Ramadhan masih tetap dianjurkan
(disunnahkan).
Tahapan keempat:
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bertekad
di akhir umurnya untuk melaksanakan puasa Asyura tidak bersendirian,
namun diikutsertakan dengan puasa pada hari lainnya. Tujuannya adalah untuk
menyelisihi puasa Asyura yang dilakukan oleh Ahlul Kitab.
Ibnu Abbas
radhiyallahu ’anhuma berkata bahwa ketika Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam
melakukan puasa hari ’Asyura dan memerintahkan kaum muslimin untuk
melakukannya, pada saat itu ada yang berkata,
يَا
رَسُولَ
اللَّهِ
إِنَّهُ
يَوْمٌ
تُعَظِّمُهُ
الْيَهُودُ
وَالنَّصَارَى.
“Wahai Rasulullah, hari ini adalah
hari yang diagungkan oleh Yahudi dan Nashrani.” Lantas beliau mengatakan,
فَإِذَا
كَانَ
الْعَامُ
الْمُقْبِلُ
- إِنْ
شَاءَ
اللَّهُ
- صُمْنَا
الْيَوْمَ
التَّاسِعَ
“Apabila tiba tahun depan –insya
Allah (jika Allah menghendaki)- kita akan berpuasa pula pada hari kesembilan.”
Ibnu Abbas mengatakan,
فَلَمْ
يَأْتِ
الْعَامُ
الْمُقْبِلُ
حَتَّى
تُوُفِّىَ
رَسُولُ
اللَّهِ
-صلى
الله
عليه
وسلم-.
“Belum sampai tahun depan, Nabi
shallallahu ’alaihi wa sallam sudah keburu meninggal dunia.”[18]
Menambahkan Puasa 9
Muharram
Sebagaimana
dijelaskan di atas (pada hadits Ibnu Abbas) bahwa di akhir umurnya, Nabi
shallallahu ’alaihi wa sallam bertekad untuk menambah puasa pada hari
kesembilan Muharram untuk menyelisihi Ahlu Kitab. Namun beliau sudah keburu
meninggal sehingga beliau belum sempat melakukan puasa pada hari itu.
Lalu bagaimana
hukum menambahkan puasa pada hari kesembilan Muharram? Berikut kami sarikan
penjelasan An Nawawi rahimahullah.
Imam Asy Syafi’i
dan ulama Syafi’iyyah, Imam Ahmad, Ishaq dan selainnya mengatakan bahwa
dianjurkan (disunnahkan) berpuasa pada hari kesembilan dan kesepuluh sekaligus;
karena Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam berpuasa pada hari kesepuluh dan
berniat (berkeinginan) berpuasa juga pada hari kesembilan.
Apa hikmah Nabi
shallallahu ’alaihi wa sallam menambah puasa pada hari kesembilan? An Nawawi
rahimahullah melanjutkan penjelasannya.
Sebagian ulama
mengatakan bahwa sebab Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam bepuasa pada hari
kesepuluh sekaligus kesembilan agar tidak tasyabbuh (menyerupai) orang Yahudi
yang hanya berpuasa pada hari kesepuluh saja. Dalam hadits Ibnu Abbas juga
terdapat isyarat mengenai hal ini. Ada juga yang mengatakan bahwa hal ini untuk
kehati-hatian, siapa tahu salah dalam penentuan hari ’Asyura’ (tanggal 10
Muharram). Pendapat yang menyatakan bahwa Nabi menambah hari kesembilan agar
tidak menyerupai puasa Yahudi adalah pendapat yang lebih kuat. Wallahu
a’lam.[19]
Ibnu Rojab
mengatakan, ”Di antara ulama yang menganjurkan berpuasa pada tanggal 9 dan 10
Muharram sekaligus adalah Imam Asy Syafi’i, Imam Ahmad, dan Ishaq. Adapun Imam
Abu Hanifah menganggap makruh jika seseorang hanya berpuasa pada hari kesepuluh
saja.”[20]
Intinya, kita lebih
baik berpuasa dua hari sekaligus yaitu pada tanggal 9 dan 10 Muharram. Karena
dalam melakukan puasa ‘Asyura ada dua tingkatan yaitu:
Tingkatan yang
lebih sempurna adalah berpuasa pada 9 dan 10 Muharram sekaligus.
Tingkatan di
bawahnya adalah berpuasa pada 10 Muharram saja.[21]
Puasa 9, 10, dan 11
Muharram
Sebagian ulama
berpendapat tentang dianjurkannya berpuasa pada hari ke-9, 10, dan 11 Muharram.
Inilah yang dianggap sebagai tingkatan lain dalam melakukan puasa Asy
Syura[22]. Mereka berdalil dengan hadits yang diriwayatkan dari Ibnu Abbas
radhiyallahu ’anhuma. Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam bersabda,
صُومُوا
يَوْمَ
عَاشُورَاءَ
وَخَالِفُوا
فِيهِ
الْيَهُودَ
صُومُوا
قَبْلَهُ
يَوْماً
أَوْ
بَعْدَهُ
يَوْماً
“Puasalah pada hari ’Asyura’ (10
Muharram, pen) dan selisilah Yahudi. Puasalah pada hari sebelumnya atau hari
sesudahnya.”
Hadits ini
diriwayatkan oleh Imam Ahmad dalam musnadnya, Ibnu Khuzaimah, Ibnu ’Adiy, Al
Baihaqiy, Al Bazzar, Ath Thohawiy dan Al Hamidiy, namun sanadnya dho’if
(lemah). Di dalam sanad tersebut terdapat Ibnu Abi Laila -yang nama aslinya
Muhammad bin Abdur Rahman-, hafalannya dinilai jelek. Juga terdapat Daud bin
’Ali. Dia tidak dikatakan tsiqoh kecuali oleh Ibnu Hibban. Beliau berkata, ”Daud
kadang yukhti’ (keliru).” Adz Dzahabiy mengatakan bahwa hadits ini tidak bisa
dijadikan hujjah (dalil).
Namun, terdapat
hadits yang diriwayatkan oleh Abdur Rozaq, Ath Thohawiy dalam Ma’anil Atsar,
dan juga Al Baihaqi, dari jalan Ibnu Juraij dari ’Atho’ dari Ibnu Abbas. Beliau
radhiyallahu ’anhuma berkata,
خَالِفُوْا
اليَهُوْدَ
وَصُوْمُوْا
التَّاسِعَ
وَالعَاشِرَ
“Selisilah Yahudi. Puasalah pada hari
kesembilan dan kesepuluh Muharram.” Sanad hadits ini adalah shohih, namun
diriwayatkan secara mauquf (hanya dinilai sebagai perkataan sahabat). [23]
Catatan: Jika ragu
dalam penentuan awal Muharram, maka boleh ditambahkan dengan berpuasa pada
tanggal 11 Muharram.
Imam Ahmad
-rahimahullah- mengatakan, ”Jika ragu mengenai penentuan awal Muharram, maka boleh berpuasa pada tiga hari
(hari 9, 10, dan 11 Muharram, pen) untuk kehati-hatian.”[24]
Sebagai Motivasi
Semoga kita
terdorong untuk melakukan puasa Asyura. Cukup ayat ini sebagai renungan. Allah
Ta’ala berfirman,
كُلُوا
وَاشْرَبُوا
هَنِيئًا
بِمَا
أَسْلَفْتُمْ
فِي
الْأَيَّامِ
الْخَالِيَةِ
“(Kepada mereka dikatakan):
"Makan dan minumlah dengan sedap disebabkan amal yang telah kamu kerjakan
pada hari-hari yang telah lalu".” (QS. Al Haqqah: 24)
Mujahid dan
selainnya mengatakan, ”Ayat ini turun pada orang yang berpuasa. Barangsiapa
meninggalkan makan, minum, dan syahwatnya karena Allah, maka Allah akan memberi
ganti dengan makanan dan minuman yang lebih baik, serta akan mendapat ganti
dengan pasangan di akhirat yang kekal (tidak mati).”[25] Inilah balasan untuk
orang yang gemar berpuasa.
Insya Allah tanggal
9 dan 10 Muharram tahun ini bertepatan dengan tanggal 5 dan 6 Desember 2011.
Semoga Allah
memudahkan kita untuk melakukan amalan puasa ini. Hanya Allah yang memberi
taufik.
Segala puji bagi
Allah yang dengan nikmat-Nya segala kebaikan menjadi sempurna.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar