Di antara keunggulan suatu amalan
dari amalan lainnya adalah amalan yang rutin (kontinu) dilakukan. Amalan yang
kontinu –walaupun sedikit- itu akan mengungguli amalan yang tidak rutin
–meskipun jumlahnya banyak-. Amalan inilah yang lebih dicintai oleh Allah
Ta’ala. Di antara dasar dari hal ini adalah dalil-dalil berikut.
Dari ’Aisyah –radhiyallahu
’anha-, beliau mengatakan bahwa Rasulullah shallallahu ’alaihi wa sallam
bersabda,
أَحَبُّ
الأَعْمَالِ إِلَى اللَّهِ تَعَالَى
أَدْوَمُهَا وَإِنْ قَلَّ
”Amalan
yang paling dicintai oleh Allah Ta’ala adalah amalan yang kontinu walaupun itu
sedikit.” ’Aisyah pun ketika melakukan suatu amalan selalu berkeinginan keras
untuk merutinkannya. [5]
Dari ’Aisyah, beliau mengatakan
bahwa Rasulullah shallallahu ’alaihi wa sallam ditanya mengenai amalan apakah
yang paling dicintai oleh Allah. Rasul shallallahu ’alaihi wa sallam menjawab,
أَدْوَمُهُ
وَإِنْ قَلَّ
”Amalan
yang rutin (kontinu), walaupun sedikit.”[6]
’Alqomah
pernah bertanya pada Ummul Mukminin ’Aisyah, ”Wahai Ummul Mukminin,
bagaimanakah Rasulullah shallallahu ’alaihi wa sallam beramal? Apakah beliau
mengkhususkan hari-hari tertentu untuk beramal?” ’Aisyah menjawab,
لاَ.
كَانَ عَمَلُهُ دِيمَةً وَأَيُّكُمْ يَسْتَطِيعُ
مَا كَانَ رَسُولُ اللَّهِ
-صلى الله عليه وسلم-
يَسْتَطِيعُ
”Tidak.
Amalan beliau adalah amalan yang kontinu (rutin dilakukan). Siapa saja di
antara kalian pasti mampu melakukan yang beliau shallallahu ’alaihi wa sallam
lakukan.”[7]
Di antaranya lagi Nabi
shallallahu ’alaihi wa sallam contohkan dalam amalan shalat malam. Pada amalan
yang satu ini, beliau menganjurkan agar mencoba untuk merutinkannya. Dari
’Aisyah, Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam bersabda,
يَا
أَيُّهَا النَّاسُ عَلَيْكُمْ مِنَ الأَعْمَالِ مَا
تُطِيقُونَ فَإِنَّ اللَّهَ لاَ
يَمَلُّ حَتَّى تَمَلُّوا وَإِنَّ
أَحَبَّ الأَعْمَالِ إِلَى اللَّهِ مَا
دُووِمَ عَلَيْهِ وَإِنْ قَلَّ
”Wahai
sekalian manusia, lakukanlah amalan sesuai dengan kemampuan kalian. Karena
Allah tidaklah bosan sampai kalian merasa bosan. (Ketahuilah bahwa) amalan yang
paling dicintai oleh Allah adalah amalan yang kontinu (ajeg) walaupun
sedikit.”[8]
Keterangan Ulama Mengenai Amalan
yang Kontinu
Mengenai hadits-hadits yang kami
kemukakan di atas telah dijelaskan maksudnya oleh ahli ilmu sebagai berikut.
Ibnu Rajab Al Hambali mengatakan,
”Yang dimaksud dengan hadits tersebut adalah agar kita bisa pertengahan dalam
melakukan amalan dan berusaha melakukan suatu amalan sesuai dengan kemampuan.
Karena amalan yang paling dicintai oleh Allah adalah amalan yang rutin
dilakukan walaupun itu sedikit.”
Beliau pun menjelaskan, ”Amalan
yang dilakukan oleh Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam adalah amalan yang terus
menerus dilakukan (kontinu). Beliau pun melarang memutuskan amalan dan
meninggalkannya begitu saja. Sebagaimana beliau pernah melarang melakukan hal
ini pada sahabat ’Abdullah bin ’Umar.”[9] Yaitu Ibnu ’Umar dicela karena
meninggalkan amalan shalat malam.
Dari ‘Abdullah bin ‘Amr bin Al
‘Ash radhiyallahu ‘anhuma, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata
padaku,
يَا
عَبْدَ اللَّهِ ، لاَ
تَكُنْ مِثْلَ فُلاَنٍ ،
كَانَ يَقُومُ اللَّيْلَ فَتَرَكَ
قِيَامَ اللَّيْلِ
“Wahai
‘Abdullah, janganlah engkau seperti si fulan. Dulu dia biasa mengerjakan shalat
malam, namun sekarang dia tidak mengerjakannya lagi.” [10]
Para salaf pun mencontohkan dalam
beramal agar bisa dikontinukan.
Al Qosim bin Muhammad mengatakan
bahwa ’Aisyah ketika melakukan suatu amalan, beliau selalu berkeinginan keras
untuk merutinkannya. [11]
Al Hasan Al Bashri mengatakan, ”Wahai kaum muslimin, rutinlah
dalam beramal, rutinlah dalam beramal. Ingatlah! Allah tidaklah menjadikan
akhir dari seseorang beramal selain kematiannya.”
Beliau rahimahullah juga
mengatakan, ”Jika syaithon melihatmu kontinu dalam melakukan amalan ketaatan,
dia pun akan menjauhimu. Namun jika syaithon melihatmu beramal kemudian engkau
meninggalkannya setelah itu, malah melakukannya sesekali saja, maka syaithon
pun akan semakin tamak untuk menggodamu.”[12]
Maka dari penjelasan ini
menunjukkan dianjurkannya merutinkan amalan yang biasa dilakukan, jangan sampai ditinggalkan begitu saja dan
menunjukkan pula dilarangnya memutuskan suatu amalan meskipun itu amalan yang
hukumnya sunnah.
Hikmah Mengapa Mesti Merutinkan
Amalan
Pertama, melakukan amalan yang
sedikit namun kontinu akan membuat amalan tersebut langgeng, artinya akan terus
tetap ada.
An Nawawi rahimahullah
mengatakan, ”Ketahuilah bahwa amalan yang sedikit namun rutin dilakukan, itu
lebih baik dari amalan yang banyak namun cuma sesekali saja dilakukan. Ingatlah
bahwa amalan sedikit yang rutin dilakukan akan melanggengkan amalan ketaatan,
dzikir, pendekatan diri pada Allah, niat dan keikhlasan dalam beramal, juga
akan membuat amalan tersebut diterima oleh Sang Kholiq Subhanahu wa Ta’ala.
Amalan sedikit yang rutin dilakukan akan memberikan ganjaran yang besar dan
berlipat dibandingkan dengan amalan yang sedikit namun sesekali saja
dilakukan.”[13]
Kedua, amalan yang kontinu akan
terus mendapat pahala. Berbeda dengan amalan yang dilakukan sesekali saja
–meskipun jumlahnya banyak-, maka ganjarannya akan terhenti pada waktu dia
beramal. Bayangkan jika amalan tersebut dilakukan terus menerus, maka pahalanya
akan terus ada walaupun amalan yang dilakukan sedikit.
Ibnu Rajab Al Hambali mengatakan,
”Sesungguhnya seorang hamba hanyalah akan diberi balasan sesuai amalan yang ia
lakukan. Barangsiapa meninggalkan suatu amalan -bukan karena udzur syar’i
seperti sakit, bersafar, atau dalam keadaan lemah di usia senja-, maka akan
terputus darinya pahala dan ganjaran jika ia meninggalkan amalan tersebut.”[14]
Namun perlu diketahui bahwa apabila seseorang meninggalkan amalan sholih yang
biasa dia rutinkan karena alasan sakit, sudah tidak mampu lagi melakukannya,
dalam keadaan bersafar atau udzur syar’i lainnya, maka dia akan tetap
memperoleh ganjarannya. Hal ini berdasarkan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,
إِذَا
مَرِضَ الْعَبْدُ أَوْ سَافَرَ ،
كُتِبَ لَهُ مِثْلُ مَا
كَانَ يَعْمَلُ مُقِيمًا صَحِيحًا
“Jika
seseorang sakit atau melakukan safar, maka dia akan dicatat melakukan amalan
sebagaimana amalan rutin yang dia lakukan ketika mukim (tidak bepergian) dan
dalam keadaan sehat.”[15]
Ketiga, amalan yang sedikit
tetapi kontinu akan mencegah masuknya virus ”futur” (jenuh untuk beramal). Jika
seseorang beramal sesekali namun banyak, kadang akan muncul rasa malas dan
jenuh. Sebaliknya jika seseorang beramal sedikit namun ajeg (terus menerus),
maka rasa malas pun akan hilang dan rasa semangat untuk beramal akan selalu
ada. Itulah mengapa kita dianjurkan untuk beramal yang penting kontinu walaupun
jumlahnya sedikit. Kadang kita memang mengalami masa semangat dan kadang pula
futur (malas) beramal. Sehingga agar amalan kita terus menerus ada pada
masa-masa tersebut, maka dianjurkanlah kita beramal yang rutin walaupun itu
sedikit.
Rasulullah shallallahu ’alaihi wa
sallam bersabda,
وَلِكُلِّ
عَمِلٍ شِرَّةٌ ، وَلِكُلِّ
شِرَّةٍ فَتْرَةٌ ، فَمَنْ يَكُنْ
فَتْرَتُهُ إِلَى السُّنَّةِ ،
فَقَدِ اهْتَدَى ، وَمَنْ يَكُ
إِلَى غَيْرِ ذَلِكَ ،
فَقَدْ ضَلَّ
”Setiap
amal itu pasti ada masa semangatnya. Dan setiap masa semangat itu pasti ada
masa futur (malasnya). Barangsiapa yang kemalasannya masih dalam sunnah
(petunjuk) Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam, maka dia berada dalam petunjuk.
Namun barangsiapa yang keluar dari petunjuk tersebut, sungguh dia telah
menyimpang.”[16]
Apabila seorang hamba berhenti
dari amalan rutinnya, malaikat pun akan berhenti membangunkan baginya bangunan
di surga disebabkan amalan yang cuma sesaat.
Al Hasan Al Bashri mengatakan,
”Sesungguhnya bangunan di surga dibangun oleh para Malaikat disebabkan amalan
dzikir yang terus dilakukan. Apabila seorang hamba mengalami rasa jenuh untuk
berdzikir, maka malaikat pun akan berhenti dari pekerjaannya tadi. Lantas
malaikat pun mengatakan, ”Apa yang terjadi padamu, wahai fulan?” Sebab malaikat
bisa menghentikan pekerjaan mereka karena orang yang berdzikir tadi mengalami
kefuturan (kemalasan) dalam beramal.”
Oleh karena itu, ingatlah
perkataan Ibnu Rajab Al Hambali, ”Sesungguhnya Allah lebih mencintai amalan
yang dilakukan secara kontinu (terus menerus). Allah akan memberi ganjaran pada
amalan yang dilakukan secara kontinu berbeda halnya dengan orang yang melakukan
amalan sesekali saja.”[17]
Apakah Kontinuitas Perlu Ada
dalam Setiap Amalan?
Syaikh Ibrahim Ar Ruhailiy
hafizhohullah mengatakan, ”Tidak semua amalan mesti dilakukan secara rutin,
perlu kiranya kita melihat pada ajaran dan petunjuk Nabi shallallahu ’alaihi wa
sallam dalam hal ini.”[18]
Untuk mengetahui manakah amalan
yang mesti dirutinkan, dapat kita lihat pada tiga jenis amalan berikut.
Pertama, amalan yang bisa
dirutinkan ketika mukim (tidak bepergian) dan ketika bersafar.
Contohnya adalah puasa pada
ayyamul biid (13, 14, 15 H), shalat sunnah qobliyah shubuh (shalat sunnah
fajar), shalat malam (tahajud), dan shalat witir. Amalan-amalan seperti ini
tidaklah ditinggalkan meskipun dalam keadaan bersafar.
Ibnu ‘Abbas mengatakan,
“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam selalu berpuasa pada ayyamul biid
(13, 14, 15 H) baik dalam keadaan mukim (tidak bersafar) maupun dalam keadaan
bersafar.”[19]
Ibnul Qayyim mengatakan,
“Termasuk di antara petunjuk Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika bersafar
adalah mengqoshor shalat fardhu dan tidak mengerjakan shalat sunnah rawatib
qobliyah dan ba’diyah. Yang biasa beliau tetap lakukan adalah mengerjakan
shalat sunnah witir dan shalat sunnah qabliyah shubuh. Beliau tidak pernah
meninggalkan kedua shalat ini baik ketika bermukim dan ketika bersafar.”[20]
Ibnul Qayyim juga mengatakan,
“Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak pernah meninggalkan qiyamul lail
(shalat malam) baik ketika mukim maupun ketika bersafar.”[21]
Kedua, amalan yang dirutinkan
ketika mukim (tidak bepergian), bukan ketika safar.
Contohnya adalah shalat sunnah
rawatib selain shalat sunnah qobliyah shubuh sebagaimana dijelaskan oleh Ibnul
Qayyim pada perkataan yang telah lewat.
Ketiga, amalan yang kadang
dikerjakan pada suatu waktu dan kadang pula ditinggalkan.
Contohnya adalah puasa selain
hari Senin dan Kamis. Puasa pada selain dua hari tadi boleh dilakukan
kadang-kadang, misalnya saja berpuasa pada hari selasa atau rabu.
Initinya, tidak semua amalan
mesti dilakukan secara rutin, itu semua melihat pada ajaran dan petunjuk Nabi
shallallahu ’alaihi wa sallam.
Penutup
Ketika ajal menjemput, barulah
amalan seseorang berakhir.Al Hasan Al Bashri mengatakan, ”Sesungguhnya Allah
Ta’ala tidaklah menjadikan ajal (waktu akhir) untuk amalan seorang mukmin
selain kematiannya.” Lalu Al Hasan membaca firman Allah,
وَاعْبُدْ
رَبَّكَ حَتَّى يَأْتِيَكَ الْيَقِينُ
”Dan
sembahlah Rabbmu sampai datang kepadamu al yaqin (yakni ajal).” (QS. Al Hijr:
99).[22] Ibnu ’Abbas, Mujahid dan mayoritas ulama mengatakan bahwa ”al yaqin”
adalah kematian. Dinamakan demikian karena kematian itu sesuatu yang diyakini
pasti terjadi. Az Zujaaj mengatakan bahwa makna ayat ini adalah sembahlah Allah
selamanya. Ahli tafsir lainnya mengatakan, makna ayat tersebut adalah perintah
untuk beribadah kepada Allah selamanya, sepanjang hidup.[23]
Ibadah seharusnya tidak
ditinggalkan ketika dalam keadaan lapang karena Rasulullah shallallahu ‘alaihi
wa sallam bersabda,
تَعَرَّفْ
إِلَي اللهِ فِى الرَّخَاءِ
يَعْرِفْكَ فِى الشِّدَّةِ
“Kenalilah
Allah di waktu lapang, niscaya Allah akan mengenalimu ketika susah.” [24]
Semoga Allah menganugerahi kita
amalan-amalan yang selalu dicintai oleh-Nya. Hanya Allah yang memberi taufik.
Segala puji bagi Allah yang dengan segala nikmat-Nya setiap kebaikan menjadi
sempurna.
***
Diselesaikan di Pangukan, Sleman,
Senin sore, 16 Syawwal 1430 H.
Penulis: Muhammad Abduh Tuasikal
Artikel http://rumayhso.com
[1] Lihat Latho-if Al Ma’arif,
Ibnu Rajab Al Hambali, hal. 396-400, Daar Ibnu Katsir, cetakan kelima, 1420 H
[Tahqiq: Yasin Muhammad As Sawaas]
[2] HR. Bukhari no. 1987 dan Muslim
no. 783
[3] Tafsir Al Qur’an Al ‘Azhim,
Ibnu Katsir, 8/417, Daar Thoyyibah, cetakan kedua, 1420 H [Tafsir Surat Al
Lail]
[4] Latho-if Al Ma’arif, hal.
394.
[5] HR. Muslim no. 783, Kitab
shalat para musafir dan qasharnya, Bab Keutamaan amalan shalat malam yang
kontinu dan amalan lainnya.
[6] HR. Muslim no. 782
[7] HR. Muslim no. 783
[8] HR. Muslim no. 782
[9] Fathul Baari lii Ibni Rajab,
1/84, Asy Syamilah
[10] HR. Bukhari no. 1152
[11] HR. Muslim no. 783, Kitab
shalat para musafir dan qasharnya, Bab Keutamaan amalan shalat malam yang
kontinu dan amalan lainnya.
[12] Al Mahjah fii Sayrid Duljah,
Ibnu Rajab, hal. 71. Dinukil dari Tajriidul Ittiba’ fii Bayaani Asbaabi
Tafadhulil A’mal, Ibrahim bin ‘Amir Ar Ruhailiy, hal. 86, Daar Al Imam Ahmad,
cetakan pertama, 1428 H.
[13] Syarh An Nawawi ‘ala Muslim,
3/133, Mawqi’ Al Islam, Asy Syamilah
[14] Lihat Fathul Baari lii Ibni
Rajab, 1/84
[15] HR. Bukhari no. 2996
[16] HR. Thobroni dalam Al Mu’jam
Al Kabir, periwayatnya shohih. Lihat Majma’ Az Zawa’id
[17] Lihat Fathul Baari lii Ibni
Rajab, 1/84
[18] Tajridul Ittiba’, hal. 89.
Untuk pembahasan pada point ini, kami berusaha sarikan dari kitab tersebut.
[19] Diriwayatkan oleh An Nasa-i.
Syaikh Al Albani mengatakan bahwa sanad hadits ini hasan. Lihat Al Hadits Ash
Shohihah 580.
[20] Zaadul Ma’ad, 1/456,
Muassasah Ar Risalah, cetakan keempat, 1407 H. [Tahqiq: Syu’aib Al Arnauth,
‘Abdul Qadir Al Arnauth]
[21] Zaadul Ma’ad, 1/311
[22] Latho-if Al Ma’arif, hal.
398.
[23] Lihat Zaadul Masiir, Ibnul
Jauzi, 4/79, Mawqi’ At Tafaasir, Asy Syamilah
[24] HR. Hakim. Syaikh Al Albani
dalam Shohih wa Dho’if Al Jami’ Ash Shogir mengatakan bahwa hadits ini shohih
Tidak ada komentar:
Posting Komentar